Oleh Rhenald Kasali
* [Jawapos, 8 Agustus 2011]
Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu
bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak
mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya
berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90%
mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas
anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.
Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang
memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya
memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus
memiliki “surat ijin memasuki dunia global.”. Tanpa pasport manusia akan
kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua
minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya passport. Setelah
itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar
negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor
Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa
dijangkau.
“Uang untuk beli tiketnya bagaimana,
pak?”
Saya katakan saya tidak tahu.
*Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang
bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan
dan tujuannya dari uang.
*Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya
dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya
hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin. Pertanyaan seperti itu
tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang
jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh,
mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran
banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di
almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta
kesempatan untuk maju.
Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang
terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.
Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak
pernah ada di kepala para pelancong, dan di antaranya adalah mahasiswa yang
dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan
super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan
uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka
sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang
merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang
yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah
tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.
Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong
pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI
(Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar
yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko,
menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut
kursus, dan membawa dolar.
Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan
menunjukkan passportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain
kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat
teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi
eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.
* The Next Convergence*
Dalam bukunya yang berjudul The Next
Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia
tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950,
rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka
kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan
perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik
Surabaya-Hongkong.
Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang
hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar
negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki passport.Maka bagi
saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia.
Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak
menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh
sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu
pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan.
Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang
kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini.
Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan
terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di
universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan
melihat minimal satu negara.
Dulu saya sendiri yang menjadi gembala
sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di
Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya
berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan
inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak
Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang
huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti
menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya,
anak-anak didik saya yang sudah punya passport itu 99% akhirnya dapat pergi
keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak
untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi
sponsor dan mengedarkan
kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang
sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.
Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya
yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipassportnya tertera satu dua cap imigrasi
luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu
membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak
PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau
kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa
asing. Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki
daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit.
Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa
segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi
mereka. Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya
memiliki
pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat
dunia, dan berawal dari passport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi
pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal
Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah,
Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan
Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.
*Rhenald Kasali, Guru Besar Universitas
Indonesia *
0 komentar:
Posting Komentar